Beberapa Aspek Hukum Puasa
Oh! Krai Utara
Dalam sejarah Islam disebutkan, kewajiban puasa Ramadhan ditetapkan pada 10 Sya’ban tahun kedua Hijrah. Kewajiban puasa dalam Al-Qur’an dimulai dengan satu pendahuluan yang mendorong umat Islam tumuk melaksanakannya dengan ikhlas, tanpa sedikit ada kekesalan.
Banyak informasi dan tuntunan yang dapat ditarik dari ayat-ayat A1 Qur’an maupun hadits berkaitan dengan hukum puasa. Berikut dikemukan beberapa hal yang tcrkait dengan masalah tersebut.
1. Niat
Niat adalah keinginan hati untuk melakukan suatu perbuatan. Dalam hal puasa Ramadhan, ia menjadi syarat sahnya. Niat hendak dya dilakukan di malam hari, meskipun beberapa saat sebelum terbitnya fajar. Orang yang berpuasa Ramadhan tidak harus memperbaharui niatnya setiap malam Ramadhan, tetapi cukup baginya niat puasa Ramadhan (sebulan) ketika telah masuk bulan Ramadhan.
2. Yang Wajib Berpuasa
· Puasa diwajibkan atas setiap muslim yang baligh, berakal, mukim (tidak musafir), mampu, dan bebas dari berbagai halangan, seperti haid dan nifas.
· Anak usia 7 tahm dianjurkan berpuasa jika mampu, dan anak usia 10 tahun yang tidak berpuasa boleh dipulcul, sebagaimana berlaku dalam masalah shalat.
· Jika ada orang kafir masuk Islam atau anak mencapai usia baligh atau orang gila menjadi sadar pada siang hari maka mereka harus menahan diri (dari makan dan minum) pada sisa harinya, namun mereka tidak wajib mengqadha’ hari-hari yang ia tidak berpuasa karenanya.
· Orang gila yang kadang-kadang sadar maka wajib puasa saat sadar, demikian pula dengan orang yang kesurupan. Orang yang meninggal di pertengahan bulan Ramadhan tidak ada kewajiban baginya, juga tidak bagi walinya untuk mengqadha’ sisa hari-hari puasanya.
· Orang yang tidak mengetahui wajibnya puasa pada bulan Ramadhan atau tidak mengetahui diharamkannya makanan atau bersenggama di siang hari bulan Ramadhan maka menurut jumhur (mayoritas) ulama ia diterima alasannya (ma’dzur), dengan catatan ma’dzur pula orang lain yang seperti dirinya. Adapun orang yang hidup di tengah kaum muslimin dan memungkinkan baginya untuk bertanya atau belajar maka dia tidak termasuk orang yang ma’dzur.
3. Puasa musafir (orang yang bepergian):
· Dibolehkan bagi musafir untuk berbuka dengan syarat; mencapai jarak tempuh minimal safar (bepergian) atau mcnurut umumnya. Perjalanan yang dilakukannya bukan untuk rujuan maksiat dan siasat agar bisa berbuka.
· Menurut kesepakatan umat, seorang musafir boleh berbuka, baik ia mampu melanjutkan puasanya atau tidak, atau berat baginya puasa maupun tidak.
· Orang yang hendak bepergian di bulan Ramadhan tidak boleh meniatkan berbuka kecuali ia telah berangkat, dan ia tidak boleh berbuka kecuali setelah keluar dan meninggalkan kampungnya. Jika matahari telah terbenam lalu ia berbuka saat di darat, kemudian ketika pesawat telah jauh terbang meninggi ia melihat matahari maka tidak wajib baginya menahan diri dari makan minum, sebab ia telah menyempurnakan puasanya pada hari itu.
· Orang musafir yang sampai di suatu negeri/daerah lalu dia berniat tinggal di sana lebih dari empat hari maka ia wajib berpuasa, demikian menurut mavoritas ahli ilmu.
· Jika seseorang berpuasa di suatu negeri, lain ia pergi ke negeri lain yang berpuasa sehari sebelum atau sesudah negerinya, malca hukum orang itu adalah sama dengan negeri tujuannya (dalam berbuka, idul fithti dsb).
4. Puasa orang sakit:
· Sesuatu yang ringan, seperti batuk atau pusing tidak boleh menjadikan seseorang membatalkan puasarrya. Tetapi jika menurut pemeriksaan dokter atau menurut kebiasaan, sakit tersebut makin berbahaya atau membuat lama sembuhnya jika yang bersangkutan puasa maka boleh baginya berbuka, bahkan makruh baginya berpuasa.
· Jika puasa menyebabkannya pingsan maka dibolehkan baginya berbuka tapi wajib mengqadha . Jika dia pingsan di tengah hari lalu sadar sebelum terbenam matahari atau sesudahnya maka puasanya sah, jika masih dalam keadaan puasa. Namun jika pingsannya tersebut sejak fajar hingga terbenam matahari (Maghrib) maka menurut jumhur ulama puasanya batal. Sedangkan qadha’ puasa karena pingsan adalah wajib.
· Barangsiapa diserang lapar atau haus yang sangat,sehingga ditakutkan membinasakan dirinya atau diduga kuat membuat tidak berfungsinya sebagian inderanya maka ia boleh berbuka lalu mcngqadhanya.
· Para pekerja berat tidak boleh berbuka puasa. Tetapi jika meninggalkan kerja membahayakan dirinya, dan ia takut binasa di tengah hari maka boleh baginya berbuka lalu mengqadhanya.
· Orang sakit yang bisa sembuh maka harus mengqadha setelah sembuh. Tidak boleh menggantinya dengan fidyah (memberi makanan). Adapun orang sakit yang tidak ada harapan sembuh, demikian pula dengan orang yang tua renta, maka tiap harinya dia memberi makan satu orang miskin sebanyak setengah sha’ (kurang lebih 1,27 kg.) dari makanan pokok negerinya (seperti beras).
· Orang yang sakit lalu sembuh dan memungkinkan baginya untuk mengqadha, tetapi belum dilakukannya sampai ia meninggal dunia maka harus dikeluarkan dari sebagian hartanya untuk memberi makan orang miskin dengan hitungan sebanyak hari yang ditinggalkannya. Jika salah seorang kerabatnya berpuasa untuknya, maka hal itu dibolehkan.
Bahrul Ulum
Sumber Lembar Jum’at Al-Qalam No.36/Tahun XIX
0 ulasan:
Catat Ulasan